Di Bawah Pohon Ceri
Pagi yang indah. Seindah rembulan di
malam hari, laksana cahaya terang. Embun-embun membasahi rerumputan,
kabut-kabut menutupi awan-awan.
Sekolahku yang letaknya tidak jauh dengan sawah
sangat sejuk, sesejuk embun pagi di waktu subuh. Di pojok kantin sekolah
terdapat pohon ceri, sementara tempat beribadah umat muslim terletak di samping
kantor guru. Akupun bergegas cepat-cepat pergi ke sekolah. Setelah aku sampai
sekolah, di bawah pohon ceri aku melihat Bunga Adinda sedang duduk sambil
menikmati pagi yang indah ini. Begitupun dengan diriku, jantungku berdetak
kencang seolah-olah Malaikat Izrail ingin mencabut nyawaku. Aku merasakan hal
yang sangat dahsyat dalam khayalku, entah apa yang aku khayalkan. Ya Allah....
apa yang sedang aku rasakan, baru pertama kali jantungku berdetak kencang.
Aku akan memberikan kabarku melalui
kupu-kupu yang indah itu bahwa aku akan setia untuk menjadi pendamping hidupmu.
Tunggu-tunggu... jadi aku ini sedang merasakan jatuh cinta....?
“Teng...teng...teng..!”
Bel masuk telah berbunyi waktunya untuk belajar,
semantara diriku sungguh ingin tetap menatap pohon ceri itu begitu indah bagiku
pohon ceri itu. Ku tengok kiri kanan sudah tidak ada siswa-siswa yang berkeliaran
semuanya masuk dalam kelas, hanya tinggal diriku sendiri.
Aku pun masuk ke dalam kelas, lambat laun detak jantungku
mulai lamban seperti orang normal biasanya. Di kelas tidak ada guru, aku masih
ingin lihat pohon ceri itu, apakah masih ada Bunga Adinda di sana, kebetulan
kelas ku berdekatan dengan pohon ceri itu, aku melihat pohon itu melalui
jendela kelasku. Andai saja aku menjadi pohon ceri itu aku bisa melindungi
Adinda dari panasnya terik matahari. Karena Adinda sering sekali duduk di bawah
pohon ceri itu.
Suasana sekolah ku semakin sunyi bagai dunia mati
tanpa jiwa dan bagaikan matahari merindukan siang. Kala itu hanya ada aku,
pohon ceri, matahari, dan alam semesta. Kukirimkan salam rindu ku padamu
melalui matahari yang terus bersinar memancarkan cahaya kerinduanku padanya
semoga Bunga Adinda dapat merasakannya. Wahai kembang di bawah pohon ceri itu.
Tidak
terasa siang semakin panas jarum jam menunjukkan pukul 12:30 dan waktunya untuk
pulang sekolah, aku berharap dapat bertemu dirimu wahai kembang di bawah pohon
ceri. Aku bergegas ke masjid untuk menunaikan shalat dzuhur. Dari masjid aku
melihat pohon ceri itu, tetapi tidak ada dirimu wahai Adinda kembangku,
aku menunggu dirimu dari kejauhan
mengikuti jeritan hasratku yang ingin melihat dirimu.
Hari telah sore kembangku tetap tidak ada. Aku
pulang dengan hati yang perih karena tidak melihatmu.
Malam
semakin sunyi bagai dunia mati tanpa jiwa dan bagai bulan merindukan malam.
Kala itu hanya ada aku, bulan, taburan bintang yang gemerlapan memancarkan
cahaya-cahaya cinta dan alam semesta.
Hari semakin gelap, tak terasa aku duduk di depan teras.
Malam menunjukkan pukul 01:30 dini hari dan aku mulai masuk ke dalam kamar
berharap dapat bertemu dirimu melalui bunga tidurku yang setia menemaniku.
Jam bekker di kamar tidur mulai berbunyi suaranya
menggemparkan malam sunyi laksana suara adzan yang menyuruhku berseujud pada-Mu
Yang Maha Penguasa alam semesta, waktunya shalat subuh pikirku dalam keadaan
sedikit pusing karena tidur terlalu malam sehingga jatah tidurku berkurang.
Tapi tidak apa-apa aku harus bersyukur karena aku masih diberikan kekuatan
untuk bangun dari tidur panjangku. Kemudian aku menuju kamar mandi untuk
membersihkan tubuhku yang bercucuran
keringat entah keringat terlalu letih atau keringat dosa yang aku perbuat kala
hari itu. Bila ingat tentang dosa, aku ini orang yang penuh dosa, karena ciri salah satu orang beriman adalah
bila mendengar nama Allah bergetarlah hatinya, sementara diriku, hatiku
bergetar bila melihat Adinda kembangku.
Aku mulai menikmati sarapan pagi yang ditemani
sang mentari yang setia memberikan cahaya kesegaran kepadaku, bukan hanya
kepadaku tetapi umat manusia di seluruh pelosok dunia. Wah, menakjubkan sekali
bukan. Mentari hanya satu tetapi dapat memberikan cahaya kesegarannya pada
setiap umat manusia, subhanallah Maha Suci Allah yang menciptakan matahari beserta alam yang indah ini. Zikir terucap
ketika aku melihat Keagungan Allah SWT.
Aku
untai hari demi hari hanya untuk bisa bertemu denganmu wahai bunga di bawah
pohon ceri, yang kian hari aku tidak sempat untuk bertemu denganmu, karena
diriku sedang menggeluti pelajaran-pelajaran yang di UAN kan, waktuku sibuk
sekelai, karena bagi diriku pelajaran yang terpenting dalam semua ini.
Aku sedang mencari jati diriku, kehidupanku bahkan
cita-citaku yang selama ini terpendam dalam lumpur kehidupan. Akankah aku bisa
menemukan kembali wahai Bunga Adinda di bawah pohon ceri. Aku hanya bisa
mengucapkan selamat tinggal. Aku rasa hal yang terindah yaitu, pada saat
melihat dirimu di bawah pohon ceri.
Aku
bagai burung yang beterbangan di alam bebas yang menikmati keindahan alam dari
balik awan putih, tapi diriku takut akan hukum rimba terjadi menimpaku karena
aku bagai burung yang setiap saat diburu oleh pemburu-pemburu liar demi
keinginan nafsu manusia yang tanpa batas. Yah, begitulah kehidupan yang
berkuasa seperti hukum rimba yang dialami burung di alam bebas.
Hidup
ini bagai drama atau film yang ada di televisi yang di motori oleh sutradara,
dan aku sebagai aktornya. Tapi ini bukan film layar kaca akan tetapi layar
kehidupan yang aku jalani saat ini, di satu sisi aku sedih, terharu, terpukul,
tersakiti, dan di sisi lainnya aku gembira, senang, bahagia. Tanpa harus
menghafal naskah atau dialog dari sutradara akan tetapi kejadian itu terjadi
begitu saja dan belajar dari pengalaman, aku bisa tahu bahwa aku harus kesini
mengikuti jalan yang lurus, yakni Sirotol Mustaqim yang terbuka dalam sebuah
Wahyu Allah SWT yakni Al-Quranul Karim, yang diberikan kepada Nabi kita
Muhammad SAW. Begitulah, hanya berbekal Al-Quran dan As-Sunnah aku kini bisa
hidup. Mungkin inilah naskah kehidupan yang diperuntukan bagi semua manusia
bagi orang-orang yang mau membaca bahkan mau mengamalkan di kehidupan
sehari-hari, semoga Allah memberikan hikmahnya bagi orang-orang yang mau
berpikir dan mencari ilmu.
Terik
mentari berada di atas kepalaku pertanda waktu dzuhur mulai masuk dan tak lama
kemudian gema adzan berkumandang seperti memanggilku dan memanggil orang-orang
yang ingin bertemu sang Khalik yakni, Allah SWT. Kesibukan dalam berbagai hal
duniawi bukan menjadi suatu alasan untuk meninggalkan perintah Allah SWT.
Justru menjadi penyejuk hati, penghibur lara dan, sebagai penjernihan kita
dalam berpikir. Setelah takbir, ruku, sujud, dan tahyat membuat tubuhku lentur yang
tadinya beku karena seharian melaksanakan aktivitas, otot-otot yang tadinya
kencang dan kaku kini sedikit demi sedikit lentur seakan-akan kita sedang
berolahraga. Aku bersyukur bahwa aku masih bisa bergerak untuk melakukan
sesuatu hal yaitu, melaksanakan shalat lima waktu dan aktivitas lainnya. Dalam
doa setelah shalat aku memohon “Ya Allah berikanlah waktuku untuk selalu
mengingat diri-Mu, orang tuaku, keluarga dan orang yang selama ini aku cintai
yakni, Bunga Adinda di bawah pohon ceri”....Amin
Aku berharap kembang di bawah pohon ceri itu
selalu segar dan tak layu sehingga pada waktu kita bertemu, masih seperti dulu,
yang aku kenal harum tubuhmu, kelopakmu.
Namun aku telah sepakat.
Kebahagiaan pertemuan bukanlah khayalan belaka.
Dan perjumpaan usai perpisahan adalah kebahagiaan
yang tak terperikan.
Selamat jalan Bunga Adinda.
Semoga kita dapat dipertemukan kembali.
Karya:
Ryan Hidayat
bagus pak saya andre dikelas 7b
BalasHapus