Minggu, 22 Maret 2015

Cerpen

Di Bawah Pohon Ceri


Pagi yang indah. Seindah rembulan di malam hari, laksana cahaya terang. Embun-embun membasahi rerumputan, kabut-kabut menutupi awan-awan.
Sekolahku yang letaknya tidak jauh dengan sawah sangat sejuk, sesejuk embun pagi di waktu subuh. Di pojok kantin sekolah terdapat pohon ceri, sementara tempat beribadah umat muslim terletak di samping kantor guru. Akupun bergegas cepat-cepat pergi ke sekolah. Setelah aku sampai sekolah, di bawah pohon ceri aku melihat Bunga Adinda sedang duduk sambil menikmati pagi yang indah ini. Begitupun dengan diriku, jantungku berdetak kencang seolah-olah Malaikat Izrail ingin mencabut nyawaku. Aku merasakan hal yang sangat dahsyat dalam khayalku, entah apa yang aku khayalkan. Ya Allah.... apa yang sedang aku rasakan, baru pertama kali jantungku berdetak kencang.
Aku akan memberikan kabarku melalui kupu-kupu yang indah itu bahwa aku akan setia untuk menjadi pendamping hidupmu. Tunggu-tunggu... jadi aku ini sedang merasakan jatuh cinta....?
“Teng...teng...teng..!”
Bel masuk telah berbunyi waktunya untuk belajar, semantara diriku sungguh ingin tetap menatap pohon ceri itu begitu indah bagiku pohon ceri itu. Ku tengok kiri kanan sudah tidak ada siswa-siswa yang berkeliaran semuanya masuk dalam kelas, hanya tinggal diriku sendiri.
Aku pun masuk ke dalam kelas, lambat laun detak jantungku mulai lamban seperti orang normal biasanya. Di kelas tidak ada guru, aku masih ingin lihat pohon ceri itu, apakah masih ada Bunga Adinda di sana, kebetulan kelas ku berdekatan dengan pohon ceri itu, aku melihat pohon itu melalui jendela kelasku. Andai saja aku menjadi pohon ceri itu aku bisa melindungi Adinda dari panasnya terik matahari. Karena Adinda sering sekali duduk di bawah pohon ceri itu.
Suasana sekolah ku semakin sunyi bagai dunia mati tanpa jiwa dan bagaikan matahari merindukan siang. Kala itu hanya ada aku, pohon ceri, matahari, dan alam semesta. Kukirimkan salam rindu ku padamu melalui matahari yang terus bersinar memancarkan cahaya kerinduanku padanya semoga Bunga Adinda dapat merasakannya. Wahai kembang di bawah pohon ceri itu.
            Tidak terasa siang semakin panas jarum jam menunjukkan pukul 12:30 dan waktunya untuk pulang sekolah, aku berharap dapat bertemu dirimu wahai kembang di bawah pohon ceri. Aku bergegas ke masjid untuk menunaikan shalat dzuhur. Dari masjid aku melihat pohon ceri itu, tetapi tidak ada dirimu wahai Adinda kembangku, aku  menunggu dirimu dari kejauhan mengikuti jeritan hasratku yang ingin melihat dirimu.
Hari telah sore kembangku tetap tidak ada. Aku pulang dengan hati yang perih karena tidak melihatmu.
            Malam semakin sunyi bagai dunia mati tanpa jiwa dan bagai bulan merindukan malam. Kala itu hanya ada aku, bulan, taburan bintang yang gemerlapan memancarkan cahaya-cahaya cinta dan alam semesta.
Hari semakin gelap, tak terasa aku duduk di depan teras. Malam menunjukkan pukul 01:30 dini hari dan aku mulai masuk ke dalam kamar berharap dapat bertemu dirimu melalui bunga tidurku yang setia menemaniku.
Jam bekker di kamar tidur mulai berbunyi suaranya menggemparkan malam sunyi laksana suara adzan yang menyuruhku berseujud pada-Mu Yang Maha Penguasa alam semesta, waktunya shalat subuh pikirku dalam keadaan sedikit pusing karena tidur terlalu malam sehingga jatah tidurku berkurang. Tapi tidak apa-apa aku harus bersyukur karena aku masih diberikan kekuatan untuk bangun dari tidur panjangku. Kemudian aku menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku  yang bercucuran keringat entah keringat terlalu letih atau keringat dosa yang aku perbuat kala hari itu. Bila ingat tentang dosa, aku ini orang yang penuh dosa,  karena ciri salah satu orang beriman adalah bila mendengar nama Allah bergetarlah hatinya, sementara diriku, hatiku bergetar bila melihat Adinda kembangku.
Aku mulai menikmati sarapan pagi yang ditemani sang mentari yang setia memberikan cahaya kesegaran kepadaku, bukan hanya kepadaku tetapi umat manusia di seluruh pelosok dunia. Wah, menakjubkan sekali bukan. Mentari hanya satu tetapi dapat memberikan cahaya kesegarannya pada setiap umat manusia, subhanallah Maha Suci Allah yang menciptakan matahari  beserta alam yang indah ini. Zikir terucap ketika aku melihat Keagungan Allah SWT.
            Aku untai hari demi hari hanya untuk bisa bertemu denganmu wahai bunga di bawah pohon ceri, yang kian hari aku tidak sempat untuk bertemu denganmu, karena diriku sedang menggeluti pelajaran-pelajaran yang di UAN kan, waktuku sibuk sekelai, karena bagi diriku pelajaran yang terpenting dalam semua ini.
Aku sedang mencari jati diriku, kehidupanku bahkan cita-citaku yang selama ini terpendam dalam lumpur kehidupan. Akankah aku bisa menemukan kembali wahai Bunga Adinda di bawah pohon ceri. Aku hanya bisa mengucapkan selamat tinggal. Aku rasa hal yang terindah yaitu, pada saat melihat dirimu di bawah pohon ceri.
            Aku bagai burung yang beterbangan di alam bebas yang menikmati keindahan alam dari balik awan putih, tapi diriku takut akan hukum rimba terjadi menimpaku karena aku bagai burung yang setiap saat diburu oleh pemburu-pemburu liar demi keinginan nafsu manusia yang tanpa batas. Yah, begitulah kehidupan yang berkuasa seperti hukum rimba yang dialami burung di alam bebas.
            Hidup ini bagai drama atau film yang ada di televisi yang di motori oleh sutradara, dan aku sebagai aktornya. Tapi ini bukan film layar kaca akan tetapi layar kehidupan yang aku jalani saat ini, di satu sisi aku sedih, terharu, terpukul, tersakiti, dan di sisi lainnya aku gembira, senang, bahagia. Tanpa harus menghafal naskah atau dialog dari sutradara akan tetapi kejadian itu terjadi begitu saja dan belajar dari pengalaman, aku bisa tahu bahwa aku harus kesini mengikuti jalan yang lurus, yakni Sirotol Mustaqim yang terbuka dalam sebuah Wahyu Allah SWT yakni Al-Quranul Karim, yang diberikan kepada Nabi kita Muhammad SAW. Begitulah, hanya berbekal Al-Quran dan As-Sunnah aku kini bisa hidup. Mungkin inilah naskah kehidupan yang diperuntukan bagi semua manusia bagi orang-orang yang mau membaca bahkan mau mengamalkan di kehidupan sehari-hari, semoga Allah memberikan hikmahnya bagi orang-orang yang mau berpikir dan mencari ilmu.
            Terik mentari berada di atas kepalaku pertanda waktu dzuhur mulai masuk dan tak lama kemudian gema adzan berkumandang seperti memanggilku dan memanggil orang-orang yang ingin bertemu sang Khalik yakni, Allah SWT. Kesibukan dalam berbagai hal duniawi bukan menjadi suatu alasan untuk meninggalkan perintah Allah SWT. Justru menjadi penyejuk hati, penghibur lara dan, sebagai penjernihan kita dalam berpikir. Setelah takbir, ruku, sujud, dan tahyat membuat tubuhku lentur yang tadinya beku karena seharian melaksanakan aktivitas, otot-otot yang tadinya kencang dan kaku kini sedikit demi sedikit lentur seakan-akan kita sedang berolahraga. Aku bersyukur bahwa aku masih bisa bergerak untuk melakukan sesuatu hal yaitu, melaksanakan shalat lima waktu dan aktivitas lainnya. Dalam doa setelah shalat aku memohon “Ya Allah berikanlah waktuku untuk selalu mengingat diri-Mu, orang tuaku, keluarga dan orang yang selama ini aku cintai yakni, Bunga Adinda di bawah pohon ceri”....Amin
Aku berharap kembang di bawah pohon ceri itu selalu segar dan tak layu sehingga pada waktu kita bertemu, masih seperti dulu, yang aku kenal harum tubuhmu, kelopakmu.

Namun aku telah sepakat.
Kebahagiaan pertemuan bukanlah khayalan belaka.
Dan perjumpaan usai perpisahan adalah kebahagiaan yang tak terperikan.

Selamat jalan Bunga Adinda.
Semoga kita dapat dipertemukan kembali.













Karya:
Ryan Hidayat

1 komentar: